Senin, 11 Agustus 2014

Misteri Segitiga Bogor

Di wilayah sekitar Halimun Bogor dan sekitarnya ada benteng-benteng milik Prabu Siliwangi yang tak kelihatan, pusat kerajaan ada di Gunung Salak, sebenarnya ini sudah menjadi rahasia umum. Catatan sejarah soal Kerajaan Siliwangi pasca kehancurannya setelah diserang Kesultanan Banten pada tahun 1620-an, adalah catatatan pertama kali dari Scipio yang melakukan ekspedisi sekitar tahun 1687 mencatat ada ratusan macan gembong atau harimau bertempat tinggal di sebuah bangunan dekat Kebun Raya Bogor sekarang, selain itu ditemukan rawa yang berisi badak di sekitar Sawangan, dinamakan Rawa Badak dimana di ujung Rawa Badak ditemukan juga situs parit dan bekas tembok keraton yang dijadikan sarang macan, sekarang sarang macan ini dikenal pertigaan beringin di Sawangan. Selain catatan-catatan arkeologi, ada catatan mistis tentang segitiga Bogor.
Ada tiga gunung yang dianggap angker di masa Mataram Sultan Agung, pertama Gunung Merapi, Kedua Gunung Slamet dan Ketiga Gunung Halimun, diantara ketiganya Gunung Halimun-lah yang dianggap paling angker karena memiliki misteri luar biasa. Sampai saat ini banyak peristiwa jatuhnya pesawat di sekitar segitiga Gunung Halimun-Gunung Salak-Gunung Gede.
Daya energi ketiga gunung itu ada di Istana Cipanas, sekitar gedung yang dibangun Bung Karno namanya Gedung Bentol, tempat dimana Bung Karno selalu bermeditasi sejak dia menempati Istana Merdeka di tahun 1949. Di belakang Gedung Bentol ada sumber air panas, yang merupakan energi dari Siliwangi.
Dilamarnya Puteri Dyah Pitaloka yang kecantikannya serupa bidadari dan mewariskan kecantikan yang bisa dilihat pada gadis-gadis Bandung, Cianjur dan Sumedang sekarang ini adalah rahasia ‘Wahyu Nusantara’ yang dimiliki kerajaan Pajajaran, dimana Gadjah Mada ingin memilikinya “Siapa yang menguasai Wahyu Nusantara dia akan menguasai Indonesia’, penguasaan wahyu nusantara ini menimbulkan konflik antara Hayam Wuruk yang berpendapat bahwa wahyu itu bisa diambil dengan cara Ken Arok yaitu menikahi puteri sang Raja, di satu sisi wahyu bisa diambil dengan cara menaklukkan Pajajaran dan membangun kerajaan Majapahit Barat di Pakuan.
Tanpa disengaja menurut kepercayaan banyak orang Bung Karno mengawini puteri Bandung yaitu : Inggit Garnasih yang ditengarai masih keturunan Raja Siliwangi dimana wahyu Nusantara bersemayam di tubuh Inggit Garnasih, dan Bung Karno keturunan langsung Brawijaya V mengobarkan semangat Nusantara bermula di Bandung pada rapat politik Radicale Concentratie di Bandung tahun 1922. Bandung adalah kota terakhir dimana Prabu Linggabuana menyucikan diri di danau Bandung sebelum berangkat ke Majapahit dan kelak beristirahat di Pesanggrahan Bubat dimana kemudian datang Gadjah Mada dan terjadilah insiden pembunuhan dan pembantaian besar-besaran rombongan Pajajaran.
Sisa-sisa dari Laskar Perang Bubat melarikan diri ke Gunung Salak, sementara sisa-sisa dari punggawa Siliwangi yang diserang Banten lari ke Gunung Halimun. Tempat dimana seringnya pesawat menghilang, ini mirip dengan segitiga Bermuda dan segitiga formosa.
Gunung Halimun dan Gunung salak ini mirip Gunung Lawu yang disucikan Majapahit, tak boleh ada yang melintasi diatasnya, burungpun bisa mati bila melewati satu titik tanah yang sakral.


sumber : misteridunia.wordpress.com

Selasa, 05 Agustus 2014

Prabu Niskala Wastu Kancana

Lain Dengan Galuh, Nama Kawali Terabadikan Dalam Dua Buah Prasasti Batu Peninggalan Prabu Raja Wastu Yang Tersimpan Di Astana Gede, Kawali. Dalam Prasasti Itu Ditegaskan "Mangadeg Di Kuta Kawali" [ Bertahta Di Kota Kawali ] Dan Keratonnya Disebut Surawisesa Yang Dijelaskan Sebagai "Dalem Sipawindu Hurip" [ Keraton Yang Memberikan Ketenangan Hidup ]. Prabu Raja Wastu Atau Niskala Wastu Kancana Adalah Putera Prabu Maharaja Lingga Buana Yang Gugur Di Medan Bubat Dalam Tahun 1357. Ketika Terjadi Pasunda Bubat, Usia Wastu Kancana Baru 9 Tahun Dan Ia Adalah Satu-Satunya Ahli Waris Kerajaan Yang Hidup Karena Ketiga Kakaknya Meninggal.

Pemerintahan Kemudian Diwakili Oleh Pamannya Mangkubumi Suradipati Atau Prabu Bunisora [ Ada Juga Yang Menyebut Prabu Kuda Lalean, Sedangkan Dalam Babad Panjalu Disebut Prabu Borosngora. Selain Itu Ia Pun Dijuluki Batara Guru Di Jampang Karena Ia Menjadi Pertapa Dan Resi Yang Ulung ]. Mangkubumi Suradipati Dimakamkan Di Geger Omas. Setelah Pemerintahan Di Jalankan Pamannya Yang Sekaligus Juga Mertuanya, Wastu Kancana Dinobatkan Menjadi Raja Di Kerajaan Pajajaran Pada Tahun 1371 Pada Usia 23 Tahun. Permaisurinya Yang Pertama Adalah Lara Sarkati Puteri Lampung. Dari Perkawinan Ini Lahir Sang Haliwungan, Yang Setelah Dinobatkan Menjadi Raja Sunda Bergelar Prabu Susuktunggal. Permaisuri Yang Kedua Adalah Mayangsari Puteri Sulung Bunisora Atau Mangkubumi Suradipati. Dari Perkawinannya Dengan Mayangsari Lahir Ningrat Kancana, Yang Setelah Menjadi Penguasa Galuh Bergelar Prabu Dewa Niskala.

Setelah Wastu Kancana Wafat Tahun 1475, Kerajaan Dipecah Dua Diantara Susuktunggal Dan Dewa Niskala Dalam Kedudukan Sederajat. Politik Kesatuan Wilayah Telah Membuat Jalinan Perkawinan Antar Cucu Wastu Kencana. Jayadewata, Putera Dewa Niskala, Mula-Mula Memperistri Ambetkasih, Puteri Ki Gedeng Sindangkasih, Kemudian Memperistri Subanglarang. Yang Terakhir Ini Adalah Puteri Ki Gedeng Tapa Yang Menjadi Raja Singapura. Subanglarang Ini Keluaran Pesantren Pondok Quro Di Pura, Karawang. Ia Seorang Wanita Muslim Murid Syekh Hasanudin Yang Menganut Mazhab Hanafi. Pesantren Qura Di Karawang Didirikan Tahun 1416 Dalam Masa Pemerintahan Wastu Kancana. Subanglarang Belajar Di Situ Selama Dua Tahun. Ia Adalah Nenek Syarif Hidayatullah. Kemudian Jayadewata Mempersitri Kentring Manik Mayang Sunda Puteri Prabu Susuktunggal. Jadilah Antara Raja Sunda Dan Raja Galuh Yang Seayah Ini Menjadi Besan.

Kejatuhan Prabu Kertabumi [ Brawijaya V ] Raja Majapahit Tahun 1478 Telah Mempengaruhi Jalan Sejarah Di Jawa Barat. Rombongan Pengungsi Dari Kerabat Keraton Majapahit Akhirnya Ada Juga Yang Sampai Di Kawali. Salah Seorang Diantaranya Ialah Raden Baribin Saudara Seayah Prabu Kertabumi. Ia Diterima Dengan Baik Oleh Prabu Dewa Niskala Bahkan Kemudian Dijodohkan Dengan Ratna Ayu Kirana [ Puteri Bungsu Dewa Niskala Dari Salah Seorang Isterinya ], Adik Raden Banyak Cakra [ Kamandaka ] Yang Telah Jadi Raja Daerah Di Pasir Luhur. Disamping Itu Dewa Niskala Sendiri Menikahi Salah Seorang Dari Wanita Pengungsi Yang Kebetulan Telah Bertunangan. Dalam Carita Parahiyangan Disebutkan "Estri Larangan Ti Kaluaran". Sejak Peristiwa Bubat, Kerabat Keraton Kawali Ditabukan Berjodoh Dengan Kerabat Keraton Majapahit. Selain Itu, Menurut "Perundang-Undangan" Waktu Itu, Seorang Wanita Yang Bertunangan Tidak Boleh Menikah Dengan Laki-Laki Lain Kecuali Bila Tunangannya Meninggal Dunia Atau Membatalkan Pertunangan.

Dengan Demikian, Dewa Niskala Telah Melanggar Dua Peraturan Sekaligus Dan Dianggap Berdosa Besar Sebagai Raja. Kehebohan Pun Tak Terelakkan. Susuktunggal [ Raja Sunda Yang Juga Besan Dewa Niskala ] Mengancam Memutuskan Hubungan Dengan Kawali. Namun, Kericuhan Dapat Dicegah Dengan Keputusan, Bahwa Kedua Raja Yang Berselisih Itu Bersama-Sama Mengundurkan Diri. Akhirnya Prabu Dewa Niskala Menyerahkan Tahta Kerajaan Galuh Kepada Puteranya Jayadewata. Demikian Pula Dengan Prabu Susuktungal Yang Menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda Kepada Menantunya Ini [ Jayadewata ]. Dengan Peristiwa Yang Terjadi Tahun 1482 Itu, Kerajaan Warisan Wastu Kencana Berada Kembali Dalam Satu Tangan. Jayadewata Memutuskan Untuk Berkedudukan Di Pakuan Sebagai "Susuhunan" Karena Ia Telah Lama Tinggal Di Sini Menjalankan Pemerintahan Sehari-Hari Mewakili Mertuanya. Sekali Lagi Pakuan Menjadi Pusat Pemerintahan.

Masa Pemerintahan Kerajaan Pajajaran Diawali Oleh Pemerintahan Sri Baduga Maharaja [ Ratu Jayadewata ] Yang Memerintah Selama 39 Thn [ 1482 - 1521 ]. Pada Masa Inilah Pakuan Mencapai Puncak Perkembangannya. Dalam Prasasti Batutulis Diberitakan Bahwa Sri Baduga Dinobatkan Dua Kali, Yaitu Yang Pertama Ketika Jayadewata Menerima Tahta Galuh Dari Ayahnya [ Prabu Dewa Niskala ] Yang Kemudian Bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang Kedua Ketika Ia Menerima Tahta Kerajaan Sunda Dari Mertuanya, Susuktunggal. Dengan Peristiwa Ini, Ia Menjadi Penguasa Sunda-Galuh Dan Dinobatkan Dengar Gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji Di Pakuan Kerajaan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi Sekali Lagi Dan Untuk Terakhir Kalinya, Setelah "Sepi" Selama 149 Tahun, Jawa Barat Kembali Menyaksikan Iring-Iringan Rombongan Raja Yang Berpindah Tempat Dari Timur Ke Barat.

Di Jawa Barat Sri Baduga Ini Lebih Dikenal Dengan Nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi Sudah Tercatat Dalam Kropak 630 Sebagai Lakon Pantun. Naskah Itu Ditulis Tahun 1518 Ketika Sri Baduga Masih Hidup. Lakon Prabu Siliwangi Dalam Berbagai Versinya Berintikan Kisah Tokoh Ini Menjadi Raja Di Pakuan. Peristiwa Itu Dari Segi Sejarah Berarti Saat Sri Baduga Mempunyai Kekuasaan Yang Sama Besarnya Dengan Wastu Kancana [ Kakeknya ] Alias Prabu Wangi [ Menurut Pandangan Para Pujangga Sunda ].


Menurut Tradisi Lama. Orang Segan Atau Tidak Boleh Menyebut Gelar Raja Yang Sesungguhnya, Maka Juru Pantun Mempopulerkan Sebutan Siliwangi. Dengan Nama Itulah Ia Dikenal Dalam Literatur Sunda. Wangsakerta Pun Mengungkapkan Bahwa Siliwangi Bukan Nama Pribadi, Ia Menulis:
"Kawalya Ta Wwang Sunda Lawan Ika Wwang Carbon Mwang Sakweh Ira Wwang Jawa Kulwan Anyebuta Prabhu Siliwangi Raja Kerajaan Pajajaran. Dadyeka Dudu Ngaran Swaraga Nira".
[ Hanya Orang Sunda Dan Orang Cirebon Serta Semua Orang Jawa Barat Yang Menyebut Prabu Siliwangi Raja Kerajaan Pajajaran. Jadi Nama Itu Bukan Nama Pribadinya ].

Ki Ageng Mangir Wonoboyo

CONTOH CINTA & PENGORBANAN
Ki Ageng Mangir tidak mengizinkan para kerabat dan pengikut setianya untuk menuntut balas dendam pada Mataram. Dia relakan kematiannya untuk tumbal bagi martabat sang mertua, martabat isterinya, martabat anak satu-satunya, Bagus Wonoboyo, maupun martabat kraton Mataram. Ki Ageng Mangir mengingatkan bahwa sejak dia resmi menikah dengan puteri sulung kraton Mataram, Putri Pembayun, maka seluruh kerabat Mangir, rakyat Mangir maupun para pengikut setianya, otomatis ikut menjadi bagian dari keluarga besar kraton Mataram. Biarlah misteri kematiannya tetap menjadi misteri demi menopang kejayaan kraton Mataram.
Kisah dimulai ketika Panembahan Senopati sedang merintis berdirinya Kraton Mataram di Kotagede, Jogjakarta. Ketika sedang sedang babat-babat hutan ke arah Barat, ternyata di wilayah Mangir sudah ada semacam wilayah kekuasaan yang sudah tertata rapi, tanahnya subur gemah-ripah loh jinawi dan kehidupan rakyatnya tentram damai. Itulah tanah perdikan Mangir yang dipimpin seorang anak muda sakti bernama Ki Ageng Mangir Wonoboyo yang masih keturunan Prabu Brawijaya V asal Majapahit.
Insting Panembahan Senopati adalah ingin menaklukkan kadipaten tersebut untuk dijadikan satu dengan Mataram yang sedang dibangun olehnya. Segala macam cara dicoba untuk menghadapkan Ki Ageng Mangir ke Kraton Mataram, tetapi tidak pernah berhasil. Akhirnya Patih Mondoroko yang mengusulkan agar Ki Ageng Mangir ditarik saja ke dalam, menjadi bagian dari barisan kekuatan Mataram-Mangir. Dengan cara merangkul Ki Ageng Mangir, diyakini kekuatan Mataram akan menjadi berlipat ganda.
Atas usulan Patih Mondoroko tersebut akhirnya dibuat strategi halus untuk membujuk Ki Ageng Mangir. Karena yang akan dihadapi adalah orang sakti dan berwibawa, maka tak tanggung-tanggung Panembahan Senopati menugasi puteri sulung kesayangannya, Puteri Pembayun. Singkat cerita, Ki Ageng Mangir dan Puteri Pembayun pun saling jatuh cinta dan tentu saja Puteri Pembayun diam-diam minta izin ke ayahandanya. Sebagai murid Sunan Kalijaga langsung, sangat mustahil kalau Panembahan Senopati mengizinkan puteri tercintanya menikah dengan seorang non Muslim. Maka yang segera terjadi adalah proses dakwah Mataram melalui gelar kesenian di wilayah Mangir di mana Puteri Pembayun dijadikan sebagai tokoh utama yang berperan sebagai penari utama dan waranggono. Tanpa diceritakan secara detil akhirnya Ki Ageng Mangir pun masuk Islam dan diizinkan menikah dengan Puteri Pembayun. Tentu saja izin Panembahan Senopati pada titik ini diberikan secara diam-diam lewat Patih Mondoroko.
Proses pengislaman Ki Ageng Mangir adalah proses panjang yang disetujui dan direstui sepenuhnya oleh Panembahan Senopati dan berakhir dengan pernikahan resmi antara Puteri Pembayun dengan Ki Ageng Mangir. Sejak menikah dengan Puteri Pembayun, maka Ki Ageng Mangir Wonoboyo III adalah menantu syah Panembahan Senopati dan menjadi pewaris tahta Mataram berikutnya. Hal inilah yang secara diam-diam menyulut kekawatiran dari para adipati dan para oknum intern Kraton Mataram yang tidak senang Ki Ageng Mangir menjadi menantu resmi Panembahan Senopati. Diam-diam mereka menyusun strategi untuk menyingkirkan Ki Ageng Mangir. Kelompok mereka inilah yang kemudian menghasur Raden Ronggo, putera Panembahan Senopati yang lain yang kebutulan memang suka berkelahi dan punya sifat yang kurang baik, mudah dihasut. Maka mereka pun menyusun siasat untuk melenyapkan Ki Ageng Mangir dengan memanfaatkan Raden Ronggo yang tentu saja bisa bebas keluar-masuk kraton Mataram.
Syahdan waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Ki Ageng Mangir dan Puteri Pembayun datang ke Kraton Mataram untuk sungkem kepada sang mertua, Pangembahan Senopati. Dipilihlah kesempatan ketika di tengah-tengah acara pasewakan Ki Ageng Mangir mohon izin untuk menunaikan sholat. Oleh sang mertua dipersilahkan dia sholat di ruang sholat pribadi Panembahan Senopati. Ketika sedang sujud sholat itulah, tiba-tiba Raden Ronggo masuk dan menghantamkan batu besar yang disebut sebagai batu gantheng, ke belakang kepala Ki Ageng Mangir. Dan gugurlah Ki Ageng Mangir di tempat itu.
Konon batu pipih hitam setinggi 40 cm yang selama ini dikatakan sebagai alas singgasana Panembahan Senopati tempat di mana kepala Ki Ageng Mangir dibenturkan, ternyata adalah alas lantai sholat di mana biasanya Panembahan Senopati sholat. Tidaklah mungkin singgasana raja berupa batu pipih hitam setinggi 40 cm itu. Dan diyakini bahwa pembunuh Ki Ageng Mangir bukan Panembahan Senopati. Sebagai seorang raja, tidaklah layak mengingkari janjinya menerima Mangir sebagai menantu dihadapan pisowanan agung. Pembunuhan Ki Ageng Mangir pastilah dilakukan oleh orang lain. Patut diduga dilakukan oleh Raden Ronggo, putera Panembahan Senopati yang memang sering bertindak kontroversial. Apalagi setelah dihasut oleh para pembangkang diam-diam tersebut, kemungkinan besar Raden Ronggo takut "kalah bersaing" dengan kakak iparnya yang katanya sakti luar biasa itu.
Pembunuhan Ki Ageng Mangir dilakukan ketika sedang sholat di atas watu Gilang tersebut. Hal ini mengindikasikan hubungan Ki Ageng Mangir dengan Panembahan Senopati sangat dekat. Bisa dimaklumi karena Puteri Pembayun adalah puteri sulung kesayangan Panembahan Senopati. Pembunuhan Ki Ageng Mangir yang kemungkinan dilakukan oleh Raden Ronggo dengan menghantamkan watu gatheng pada tengkuk Ki Ageng Mangir ketika sedang sujud bersholat. Raden Ronggo membunuh Ki Ageng Mangir karena dipengaruhi oleh para adipati yang diam-diam sedang melakukan perlawanan pada Panembahan Senopati. Dengan memanas-manasi Raden Ronggo bahwa Ki Ageng Mangir jauh lebih sakti darinya, sangat mudah sekali membuatknya terhasut.
Sedangkan berita pembunuhan Ki Ageng Mangir oleh Panembahan Senopati di singgasananya adalah upaya untuk meredam kemarahan kepada Raden Ronggo dan komplotannya. Namun strategi yang bijaksana tersebut belakang hari menjadi terasa sangat tendensius dan mengaburkan kisah sebenarnya. Termasuk kisah keberhasilan pengislaman Ki Ageng Mangir oleh Roro Pembayun dibantu Patih Mondoroko atau ki Juru Mertani. Inilah alasan mengapa para orientalis Belanda termasuk HJ De Graff membiarkan cerita sejarah ini berkembang. Kemungkinan besar dengan pertimbangan agar ada asumsi bahwa Panembahan Senopati membunuh Ki Ageng Mangir adalah bukti sikap pengecutan dan bengis Panembahan Senopati. Hal ini diperlukan untuk keberhasilan penerapan politik "divide et empera" alias politik adu domba penjajah Belanda pada saat itu.
Akhirnya atas perintah Panembahan Senopati diam-diam, tak lama setelah itu Raden Ronggo terbunuh secara misterius. Ada dugaan Raden Ronggo terbunuh oleh tombak kyai Baru Klinting milik Ki Ageng Mangir dan dilakukan oleh salah satu kerabat Mangir yaitu Patih Rojoniti. Pembalasan itu terjadi di luar benteng kraton Kotagedhe dan diam-diam direstui oleh Panembahan Senopati. Pada point inilah tampaknya para kerabat keturunan Ki Ageng Mangir memahami sebab-sebab sebenarnya kematian pemimpin mereka itu. Maka tidaklah mengherankan kalau selama ini tidak pernah timbul gejolak di wilayah Mangir maupun di Mataram yang lain. Ternyata mereka sudah diberi kesempatan untuk membalas kematian Ki Ageng Mangir dan Panembahan Senopati pun terhindar dari berbagai masalah lain yang mungkin dilakukan oleh Raden Ronggo yang memang sudah diketahui bertabiat kurang baik itu.
Sementara itu pada situs sejarah peninggalan Mangir berupa arca dan candi hindu yang menunjukkan bahwa dulu-dulunya Ki Ageng Mangir adalah seseorang yang menganut agama Hindu. Ini memperjelas keberhasilan proses pengislaman Ki Ageng Mangir secara natural, sebagaimana mengikuti jejak putra-putri Brawijaya yang lain. Di sisi lain, Puteri Pembayun sebagai pahlawan Mataram, lalu diungsikan ke tanah Pati, tempat kakeknya Ki Ageng Penjawi. Di tempat itu diharapkan Puteri Pembayun bisa pelan-pelan mengobati luka hatinya akibat pembunuhan Ki Ageng Mangir suaminya. Selanjutnya Puteri Pembayun melahirkan putera satu-satunya Ki Agen Mangir dan diberi namaa Bagus Wonoboyo. Setelah tumbuh menjadi besar, Bagus Wonoboyo diasuh oleh pangeran Benawa putera Jaka Tingkir di Kendal Jawa Tengah.
Di sini terbukti bahwa kerabat Mataram selalu melindungi keberadaan Puteri Pembayun dan putranya itu di mana pun mereka berada. Bahkan Puteri Pembayun dan Bagus Wonoboyo terbukti ikut dilibatkan bertempur di Palagan Jepara 1618 bersama Tumenggung Bahurekso (tokoh kesayangan Sultan Agung). Juga pertempuran di palagan gerilya Pangeran Jayakarta melawan penguasa Belanda, JP Coen di Batavia. Pasukan Mataram di Batavia berbasis di Kali Cikeas/ kali Sunter Tapos Depok 1620. Palagan terakhir adalah palagan akbar Benteng Batavia VOC 1628 - 1629. (Kutipan dari Blog Trah Mangir di Tapos)

Nyi Ageng Serang

Nyi Ageng Serang bernama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi (Serang, PurwodadiJawa Tengah1752 - Yogyakarta,1828) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah anak Pangeran Natapraja yang menguasai wilayah terpencil dari kerajaan Mataram tepatnya di Serang yang sekarang wilayah perbatasan Grobogan-Sragen. Setelah ayahnya wafat Nyi Ageng Serang menggantikan kedudukan ayahnya. Nyi Ageng Serang adalah salah satu keturunan Sunan Kalijaga, ia juga mempunyai keturunan seorang Pahlawan nasional yaitu Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Ia dimakamkan di Kalibawang, Kulon Progo. Ia pahlawan nasional yang hampir terlupakan,mungkin karena namanya tak sepopuler R.A. Kartini atau Cut Nyak Dhien tapi beliau sangat berjasa bagi negeri ini.Warga Kulon Progo mengabadikan monumen beliau di tengah kota Wates berupa patung beliau sedang menaiki kuda dengan gagah berani membawa tombak.






Nyi Ageng Serang dilahirkan di desa Serang (terletak 40 km sebelah utara Solo dekat Purwodadi, Jawa Tengah ) pada tahun 1762 dengan nama R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi . Ayahnya bernama Panembahan Senopati Notoprojo yang ahli di bidang Keprajuritan. Beliau adalah pengikut setia Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamngkubuwono II, pendiri Kerajaan Mataram Islam.
Pada usia 16 tahun, R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi mengikuti anjuran dari bibidan pamannya untuk pindah ke Kraton Mataram. Sampai di Kraton Mataram, R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi di sambut dengan gembira oleh Sultan Hamengku Buwono II. Situasi kraton berbeda dengan dengan ketika berada di lingkungan desa. Dengan pendidikan di kraton maka kepribadian dan pengetahuan beliau berkembang dengan pesat. Beliau tumbuh menjadi seorang yang luwes, cerdik pandai dan juga berwatak keras.
Perkembangan pesat yang dialami oleh R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi membuat Sultan Hamengku Buwono II tertarik untuk menjadikan istri. R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi tidak menolak maupun mengiyakan. Sultan Hamengku Buwono II tidak marah mengetahui hal tersebut.
Melihat kemampuan R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi, Sultan Hamengku Buwono II mengutus R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi berrtempat tinggal di Kademangan, agar bisa mengetahui situasi dan kondisi diluar kraton, sehingga nantinya akan menjadi masukan yang baik bagi Sultan Hamengku Buwono II dalam menentukan sikap.
Setelah lama tinggal di Kademangan, atas permintaan Sultan Hamengku Buwono II , R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi kembali ke kraton. Selama di dalam keraton R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi selalu didesak untuk menjadi istri Sultan Hamengku Buwono II.
Setelah lama selalu di desak, akhirnya R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi menerima Sultan Hamengku Buwono II dengan syarat setelah menikah tidak hidup satu atap. Ini dikarenakan beliau masih memikirkan tentang perjuangan membebaskan rakyat dari penjajah Belanda. Atas perkawinan tersebut beliau mendapat nama Bendoro Raden Ayu Kustiah Wulangningsih Retno Edi.
Beberapa berselang akhirnya mereka berpisah dan BRA. R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi memilih tinggal di bumi Serang. Setelah tinggal disana, masyarakat memanggil beliau dengan nama Bendoro Ayu Nyi Ageng Serang. Di bumi Serang itulah beliau selalu menyebarkan bibit-bibit nasionalisme dengan selalu membakar semangat melawan penjajah.
Bendoro Nyi Ageng Serang akhirnya menikah lagi dengan Pangeran Mutia Kusumawijaya dan atas persetujuan kraton beliau diangkat sebagai Panembahan dan mempunyai puteri bernama R.A Kustinah.
R.A Kustinah diambil menantu oleh Sultan HB II, dijodohkan dengan B.R.M. Mangkudiningrat dan dikaruniai seorang putera bernama Raden Papak dan bergelar G.P.A. A. Notoprojo.
***
Pada masa itu di kraton Mataram sedang terjadi konflik antara Pangeran Diponegoro dengan Belanda karena kesewenangan pihak Belanda terhadap rakyat. Pada tanggal 20 Juli 1825, pihak Belanda mengirimkan serdadu –serdadu dari Yogyakarta untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Ini di picu ketegangan antara kedua belah pihak dengan akan di bangunnya jalan raya di dekat Tegal rejo. Segera meletus pertempuran terbuka. Tegalrejo direbut dan dibakar, tetapi Pangeran Diponegoro berhasil meloloskan diri. Pangeran Diponegoro lalu mencanangkan panji pemberontakan. Perang Jawa / Diponegoro (1825 – 1830 ) pun dimulai.
Pernyataan perang terhadap Belanda tersebut tentu saja mendapat dukungan sepenuhnya dari Nyi Ageng Serang dengan Laskar Semut Irengnya. Nyi Ageng Serang dengan laskarnya ikut berperang melawan penjajah Belanda.
Selama perang tersebut Nyi Ageng Serang menggunakan taktik kamuflase daun keladi atau daun lumbu. Daun lumbu wajib di bawa oleh setiap prajurit dan rakyat yang ikut berperang yang nantinya di gunakan sebagai payung ataupun bersembunyi. Dengan daun itu Nyi Agen Serang memerintahkan pasukannya melindungi kepalanya untuk penyamaran sehingga tampak seperti kebun tanaman keladi jika di lihat dari kejauhan. Musuh akan di serang dan di hancurkan bila sudah dekat dan dalam jarak sasaran.
Nyi Ageng Serang berjuang di daerah Grobogan, Purwodadi, Gundih, Kudus, Demak, Pati, Semarang, Magelang. Dalam perang gerilyanya akhirnya beliau sampai di pinggiran sungai Progo di daerah Dekso dan bermarkas di bukit Traju Mas. Sebuah bukit yang sekarang di namakan dengan bukit Menoreh. Akhirnya tempat tersebutdijadikan markas komando Nyi Ageng Serang
Nyi Ageng Serang oleh Pangeran Diponegoro dianggap sesepuh dan ahli/penasehat strategi perang. Nyi Ageng Serang bersama Pangeran Diponegoro selain meningkatkan taktik daun keladi/lumbu juga membentuk pasukan khusus berani mati yang dinamakan pasukan Sesabet.
Pada saat mesanggrah di Prambanan, Nyi Ageng Serang juga mengamati perkembangan yang terjadi di Kraton Yogyakarta. Pada waktu di tempat itulah beliau mengetahui bahwa Sultan Sepuh (Sultan Hamengku Buwono II ) sudah kembali dari pengasingan atas usaha Belanda dan diangkat menjadi Wali Raja di Yogyakarta. Oleh sebab itu Jendral Van de Cock menggunakan Sultan Sepuh sebagai umpan agar Pangeran Diponegoro dan Nyi Ageng Serang berkunjung ke kraton dan mau mengadakan perjanjian damai antara Sultan Sepuh, Pangeran Diponegoro, Nyi Ageng Serang dan Jenderal Van de Cock. Tetapi niat tersebut tidak tercapai.
Perjuangan Nyi Ageng Serang di wilayah Kulon Progo tidak hanya melawan Belanda saja, tetapi yang membuat Nyi Ageng Serang sangat sedih adalah bahwa dia harus melawan antek-antek Belanda yang merupakan bangsanya sendiri. Salah satu antek Belanda yang paling dibenci adalah Ki Simbar Jaya, karena dia adalah antek Belanda yang sangat kejam terhadap bangsnaya sendiri. Dia tega merampas harta rakyat, adu domba, menyiksa sampai memperkosa.
Pertempuran demi pertempuran di menangkan oleh Nyi Ageng Serang. Tetapi sekali lagi,yang membuat sangat sedih adalah membunuh bangsanya sendiri, sedangkan pasukan Belanda berada di belakang mereka.
Ki Simbar Jaya berhasil ditaklukkannya dengan senjata Cundrik dan Selendang yang selalu menyertai Nyi Ageng Serang. Karena kesaktiannya oleh masyarakat Serang, Nyi Ageng Serang dijuluki juga Djayeng Sekar. Antek-antek Belanda lain yang berhasil di bunuhnya adalah Kyai Aras Langu dan Kyai Penther.
Pada akhir tahun 1830, Nyi Ageng Serang sudah berusia lanjut. Atas permintaan kraton serta bujuk rayu abdi terdekatnya akhirnya Nyi Ageng Serang bersedia untuk kembali ke kota. Beliau lalu bertempat di Notoprajan. Tidak banyak kegiatan yang dilakukan Nyi Ageng Serang di sana, terlebih ketika mendengar bahwa Pangeran Diponegoro berhasil di tangkap oleh Belanda di Magelang dengan menggunakan tipu muslihat yang sangat licik.
Pada tahun 1932, di Notoprajan Nyi Ageng Serang bertemu dengan Pangeran Papak cucunya. Pangeran Papak bercerita dan meminta maaf karena dirinya sampai tertangkap oleh musuh. Pangeran Papak menceritakan semua pengalamannya ketika di tawan di Magelang, Salatiga, Ungaran dan Semarang.
Pada tahun 1833 di senja hari, Nyi Ageng Serang akhirnya wafat. Beliau dimakamkan di dusun Beku, Banjarharjo, Kecamatan Kalibawang, Kulon Progo (sekarang ).

Nyi Ageng Serang meninggalkan banyak contoh. Semangat pengabdian, meninggalkan kemewahan demi perjuangan untuk membebaskan bangsa dari penjajahan.
Semoga pemimpin saat ini bisa mencontoh semangatnya, walau dalam konteks yang berbeda.

Sumber :
Mutiara-Mutiara Perjuangan Bukit Menoreh : Sebuah Studi pendahuluan tentang Sejarah perjuangan Bnagsa Daerah Kulon Progo, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kulon Progo, 2008
Riclefs, M.C, Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004, PT Serambi Ilmu Semesta, 2005
www.tokohindonesia.com/biografi/article/295-pahlawan/679-ahli-strategi-diponegoro