Nyi Ageng Serang dilahirkan di desa Serang (terletak 40 km
sebelah utara Solo dekat Purwodadi, Jawa Tengah ) pada tahun 1762 dengan nama
R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi . Ayahnya bernama Panembahan Senopati
Notoprojo yang ahli di bidang Keprajuritan. Beliau adalah pengikut setia Pangeran
Mangkubumi atau Sultan Hamngkubuwono II, pendiri Kerajaan Mataram Islam.
Pada usia 16 tahun, R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi mengikuti
anjuran dari bibidan pamannya untuk pindah ke Kraton Mataram. Sampai di
Kraton Mataram, R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi di sambut dengan gembira
oleh Sultan Hamengku Buwono II. Situasi kraton berbeda dengan dengan
ketika berada di lingkungan desa. Dengan pendidikan di kraton maka kepribadian
dan pengetahuan beliau berkembang dengan pesat. Beliau tumbuh menjadi seorang
yang luwes, cerdik pandai dan juga berwatak keras.
Perkembangan pesat yang dialami oleh R.A Kustiah Wulangningsih
Retno Edi membuat Sultan Hamengku Buwono II tertarik untuk menjadikan istri.
R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi tidak menolak maupun mengiyakan. Sultan
Hamengku Buwono II tidak marah mengetahui hal tersebut.
Melihat kemampuan R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi, Sultan
Hamengku Buwono II mengutus R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi berrtempat
tinggal di Kademangan, agar bisa mengetahui situasi dan kondisi diluar kraton,
sehingga nantinya akan menjadi masukan yang baik bagi Sultan Hamengku Buwono II
dalam menentukan sikap.
Setelah lama tinggal di Kademangan, atas permintaan Sultan
Hamengku Buwono II , R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi kembali ke kraton.
Selama di dalam keraton R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi selalu didesak
untuk menjadi istri Sultan Hamengku Buwono II.
Setelah lama selalu di desak, akhirnya R.A Kustiah Wulangningsih
Retno Edi menerima Sultan Hamengku Buwono II dengan syarat setelah menikah
tidak hidup satu atap. Ini dikarenakan beliau masih memikirkan tentang
perjuangan membebaskan rakyat dari penjajah Belanda. Atas perkawinan tersebut beliau
mendapat nama Bendoro Raden Ayu Kustiah Wulangningsih Retno Edi.
Beberapa berselang akhirnya mereka berpisah dan BRA. R.A Kustiah
Wulangningsih Retno Edi memilih tinggal di bumi Serang. Setelah tinggal disana,
masyarakat memanggil beliau dengan nama Bendoro Ayu Nyi Ageng Serang. Di bumi
Serang itulah beliau selalu menyebarkan bibit-bibit nasionalisme dengan selalu
membakar semangat melawan penjajah.
Bendoro Nyi Ageng Serang akhirnya menikah lagi dengan Pangeran
Mutia Kusumawijaya dan atas persetujuan kraton beliau diangkat sebagai Panembahan
dan mempunyai puteri bernama R.A Kustinah.
R.A Kustinah diambil menantu oleh Sultan HB II, dijodohkan dengan
B.R.M. Mangkudiningrat dan dikaruniai seorang putera bernama Raden Papak dan
bergelar G.P.A. A. Notoprojo.
***
Pada masa itu di kraton Mataram sedang terjadi konflik antara
Pangeran Diponegoro dengan Belanda karena kesewenangan pihak Belanda terhadap
rakyat. Pada tanggal 20 Juli 1825, pihak Belanda mengirimkan serdadu
–serdadu dari Yogyakarta untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Ini di picu ketegangan
antara kedua belah pihak dengan akan di bangunnya jalan raya di dekat Tegal
rejo. Segera meletus pertempuran terbuka. Tegalrejo direbut dan dibakar, tetapi
Pangeran Diponegoro berhasil meloloskan diri. Pangeran Diponegoro lalu
mencanangkan panji pemberontakan. Perang Jawa / Diponegoro (1825 – 1830 ) pun
dimulai.
Pernyataan perang terhadap Belanda tersebut tentu saja mendapat
dukungan sepenuhnya dari Nyi Ageng Serang dengan Laskar Semut Irengnya. Nyi
Ageng Serang dengan laskarnya ikut berperang melawan penjajah Belanda.
Selama perang tersebut Nyi Ageng Serang menggunakan taktik
kamuflase daun keladi atau daun lumbu. Daun lumbu wajib di bawa
oleh setiap prajurit dan rakyat yang ikut berperang yang nantinya di gunakan
sebagai payung ataupun bersembunyi. Dengan daun itu Nyi Agen Serang
memerintahkan pasukannya melindungi kepalanya untuk penyamaran sehingga tampak
seperti kebun tanaman keladi jika di lihat dari kejauhan. Musuh akan di serang
dan di hancurkan bila sudah dekat dan dalam jarak sasaran.
Nyi Ageng Serang berjuang di daerah Grobogan, Purwodadi, Gundih,
Kudus, Demak, Pati, Semarang, Magelang. Dalam perang gerilyanya akhirnya
beliau sampai di pinggiran sungai Progo di daerah Dekso dan bermarkas di bukit
Traju Mas. Sebuah bukit yang sekarang di namakan dengan bukit Menoreh.
Akhirnya tempat tersebutdijadikan markas komando Nyi Ageng Serang
Nyi Ageng Serang oleh Pangeran Diponegoro dianggap sesepuh dan
ahli/penasehat strategi perang. Nyi Ageng Serang bersama Pangeran Diponegoro
selain meningkatkan taktik daun keladi/lumbu juga membentuk pasukan
khusus berani mati yang dinamakan pasukan Sesabet.
Pada saat mesanggrah di Prambanan, Nyi Ageng Serang juga mengamati
perkembangan yang terjadi di Kraton Yogyakarta. Pada waktu di tempat itulah
beliau mengetahui bahwa Sultan Sepuh (Sultan Hamengku Buwono II ) sudah kembali
dari pengasingan atas usaha Belanda dan diangkat menjadi Wali Raja di
Yogyakarta. Oleh sebab itu Jendral Van de Cock menggunakan
Sultan Sepuh sebagai umpan agar Pangeran Diponegoro dan Nyi Ageng Serang
berkunjung ke kraton dan mau mengadakan perjanjian damai antara Sultan Sepuh,
Pangeran Diponegoro, Nyi Ageng Serang dan Jenderal Van de Cock.
Tetapi niat tersebut tidak tercapai.
Perjuangan Nyi Ageng Serang di wilayah Kulon Progo tidak hanya melawan
Belanda saja, tetapi yang membuat Nyi Ageng Serang sangat sedih adalah bahwa
dia harus melawan antek-antek Belanda yang merupakan bangsanya sendiri. Salah
satu antek Belanda yang paling dibenci adalah Ki Simbar Jaya, karena dia adalah
antek Belanda yang sangat kejam terhadap bangsnaya sendiri. Dia tega merampas
harta rakyat, adu domba, menyiksa sampai memperkosa.
Pertempuran demi pertempuran di menangkan oleh Nyi Ageng Serang.
Tetapi sekali lagi,yang membuat sangat sedih adalah membunuh bangsanya sendiri,
sedangkan pasukan Belanda berada di belakang mereka.
Ki Simbar Jaya berhasil ditaklukkannya dengan senjata Cundrik dan
Selendang yang selalu menyertai Nyi Ageng Serang. Karena kesaktiannya oleh
masyarakat Serang, Nyi Ageng Serang dijuluki juga Djayeng Sekar. Antek-antek
Belanda lain yang berhasil di bunuhnya adalah Kyai Aras Langu dan Kyai Penther.
Pada akhir tahun 1830, Nyi Ageng Serang sudah berusia lanjut. Atas
permintaan kraton serta bujuk rayu abdi terdekatnya akhirnya Nyi Ageng Serang
bersedia untuk kembali ke kota. Beliau lalu bertempat di Notoprajan. Tidak
banyak kegiatan yang dilakukan Nyi Ageng Serang di sana, terlebih ketika
mendengar bahwa Pangeran Diponegoro berhasil di tangkap oleh Belanda di
Magelang dengan menggunakan tipu muslihat yang sangat licik.
Pada tahun 1932, di Notoprajan Nyi Ageng Serang bertemu
dengan Pangeran Papak cucunya. Pangeran Papak bercerita dan meminta maaf karena
dirinya sampai tertangkap oleh musuh. Pangeran Papak menceritakan semua
pengalamannya ketika di tawan di Magelang, Salatiga, Ungaran dan Semarang.
Pada tahun 1833 di senja hari, Nyi Ageng Serang akhirnya wafat.
Beliau dimakamkan di dusun Beku, Banjarharjo, Kecamatan Kalibawang, Kulon
Progo (sekarang ).
Nyi Ageng Serang meninggalkan banyak contoh. Semangat pengabdian,
meninggalkan kemewahan demi perjuangan untuk membebaskan bangsa dari
penjajahan.
Semoga pemimpin saat ini bisa mencontoh semangatnya, walau dalam
konteks yang berbeda.
Sumber :
Mutiara-Mutiara Perjuangan Bukit Menoreh : Sebuah Studi
pendahuluan tentang Sejarah perjuangan Bnagsa Daerah Kulon Progo, Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kulon Progo, 2008
Riclefs, M.C, Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004, PT Serambi
Ilmu Semesta, 2005
www.tokohindonesia.com/biografi/article/295-pahlawan/679-ahli-strategi-diponegoro

Tidak ada komentar:
Posting Komentar