Selasa, 05 Agustus 2014

Nyi Ageng Serang

Nyi Ageng Serang bernama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi (Serang, PurwodadiJawa Tengah1752 - Yogyakarta,1828) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah anak Pangeran Natapraja yang menguasai wilayah terpencil dari kerajaan Mataram tepatnya di Serang yang sekarang wilayah perbatasan Grobogan-Sragen. Setelah ayahnya wafat Nyi Ageng Serang menggantikan kedudukan ayahnya. Nyi Ageng Serang adalah salah satu keturunan Sunan Kalijaga, ia juga mempunyai keturunan seorang Pahlawan nasional yaitu Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Ia dimakamkan di Kalibawang, Kulon Progo. Ia pahlawan nasional yang hampir terlupakan,mungkin karena namanya tak sepopuler R.A. Kartini atau Cut Nyak Dhien tapi beliau sangat berjasa bagi negeri ini.Warga Kulon Progo mengabadikan monumen beliau di tengah kota Wates berupa patung beliau sedang menaiki kuda dengan gagah berani membawa tombak.






Nyi Ageng Serang dilahirkan di desa Serang (terletak 40 km sebelah utara Solo dekat Purwodadi, Jawa Tengah ) pada tahun 1762 dengan nama R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi . Ayahnya bernama Panembahan Senopati Notoprojo yang ahli di bidang Keprajuritan. Beliau adalah pengikut setia Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamngkubuwono II, pendiri Kerajaan Mataram Islam.
Pada usia 16 tahun, R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi mengikuti anjuran dari bibidan pamannya untuk pindah ke Kraton Mataram. Sampai di Kraton Mataram, R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi di sambut dengan gembira oleh Sultan Hamengku Buwono II. Situasi kraton berbeda dengan dengan ketika berada di lingkungan desa. Dengan pendidikan di kraton maka kepribadian dan pengetahuan beliau berkembang dengan pesat. Beliau tumbuh menjadi seorang yang luwes, cerdik pandai dan juga berwatak keras.
Perkembangan pesat yang dialami oleh R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi membuat Sultan Hamengku Buwono II tertarik untuk menjadikan istri. R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi tidak menolak maupun mengiyakan. Sultan Hamengku Buwono II tidak marah mengetahui hal tersebut.
Melihat kemampuan R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi, Sultan Hamengku Buwono II mengutus R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi berrtempat tinggal di Kademangan, agar bisa mengetahui situasi dan kondisi diluar kraton, sehingga nantinya akan menjadi masukan yang baik bagi Sultan Hamengku Buwono II dalam menentukan sikap.
Setelah lama tinggal di Kademangan, atas permintaan Sultan Hamengku Buwono II , R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi kembali ke kraton. Selama di dalam keraton R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi selalu didesak untuk menjadi istri Sultan Hamengku Buwono II.
Setelah lama selalu di desak, akhirnya R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi menerima Sultan Hamengku Buwono II dengan syarat setelah menikah tidak hidup satu atap. Ini dikarenakan beliau masih memikirkan tentang perjuangan membebaskan rakyat dari penjajah Belanda. Atas perkawinan tersebut beliau mendapat nama Bendoro Raden Ayu Kustiah Wulangningsih Retno Edi.
Beberapa berselang akhirnya mereka berpisah dan BRA. R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi memilih tinggal di bumi Serang. Setelah tinggal disana, masyarakat memanggil beliau dengan nama Bendoro Ayu Nyi Ageng Serang. Di bumi Serang itulah beliau selalu menyebarkan bibit-bibit nasionalisme dengan selalu membakar semangat melawan penjajah.
Bendoro Nyi Ageng Serang akhirnya menikah lagi dengan Pangeran Mutia Kusumawijaya dan atas persetujuan kraton beliau diangkat sebagai Panembahan dan mempunyai puteri bernama R.A Kustinah.
R.A Kustinah diambil menantu oleh Sultan HB II, dijodohkan dengan B.R.M. Mangkudiningrat dan dikaruniai seorang putera bernama Raden Papak dan bergelar G.P.A. A. Notoprojo.
***
Pada masa itu di kraton Mataram sedang terjadi konflik antara Pangeran Diponegoro dengan Belanda karena kesewenangan pihak Belanda terhadap rakyat. Pada tanggal 20 Juli 1825, pihak Belanda mengirimkan serdadu –serdadu dari Yogyakarta untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Ini di picu ketegangan antara kedua belah pihak dengan akan di bangunnya jalan raya di dekat Tegal rejo. Segera meletus pertempuran terbuka. Tegalrejo direbut dan dibakar, tetapi Pangeran Diponegoro berhasil meloloskan diri. Pangeran Diponegoro lalu mencanangkan panji pemberontakan. Perang Jawa / Diponegoro (1825 – 1830 ) pun dimulai.
Pernyataan perang terhadap Belanda tersebut tentu saja mendapat dukungan sepenuhnya dari Nyi Ageng Serang dengan Laskar Semut Irengnya. Nyi Ageng Serang dengan laskarnya ikut berperang melawan penjajah Belanda.
Selama perang tersebut Nyi Ageng Serang menggunakan taktik kamuflase daun keladi atau daun lumbu. Daun lumbu wajib di bawa oleh setiap prajurit dan rakyat yang ikut berperang yang nantinya di gunakan sebagai payung ataupun bersembunyi. Dengan daun itu Nyi Agen Serang memerintahkan pasukannya melindungi kepalanya untuk penyamaran sehingga tampak seperti kebun tanaman keladi jika di lihat dari kejauhan. Musuh akan di serang dan di hancurkan bila sudah dekat dan dalam jarak sasaran.
Nyi Ageng Serang berjuang di daerah Grobogan, Purwodadi, Gundih, Kudus, Demak, Pati, Semarang, Magelang. Dalam perang gerilyanya akhirnya beliau sampai di pinggiran sungai Progo di daerah Dekso dan bermarkas di bukit Traju Mas. Sebuah bukit yang sekarang di namakan dengan bukit Menoreh. Akhirnya tempat tersebutdijadikan markas komando Nyi Ageng Serang
Nyi Ageng Serang oleh Pangeran Diponegoro dianggap sesepuh dan ahli/penasehat strategi perang. Nyi Ageng Serang bersama Pangeran Diponegoro selain meningkatkan taktik daun keladi/lumbu juga membentuk pasukan khusus berani mati yang dinamakan pasukan Sesabet.
Pada saat mesanggrah di Prambanan, Nyi Ageng Serang juga mengamati perkembangan yang terjadi di Kraton Yogyakarta. Pada waktu di tempat itulah beliau mengetahui bahwa Sultan Sepuh (Sultan Hamengku Buwono II ) sudah kembali dari pengasingan atas usaha Belanda dan diangkat menjadi Wali Raja di Yogyakarta. Oleh sebab itu Jendral Van de Cock menggunakan Sultan Sepuh sebagai umpan agar Pangeran Diponegoro dan Nyi Ageng Serang berkunjung ke kraton dan mau mengadakan perjanjian damai antara Sultan Sepuh, Pangeran Diponegoro, Nyi Ageng Serang dan Jenderal Van de Cock. Tetapi niat tersebut tidak tercapai.
Perjuangan Nyi Ageng Serang di wilayah Kulon Progo tidak hanya melawan Belanda saja, tetapi yang membuat Nyi Ageng Serang sangat sedih adalah bahwa dia harus melawan antek-antek Belanda yang merupakan bangsanya sendiri. Salah satu antek Belanda yang paling dibenci adalah Ki Simbar Jaya, karena dia adalah antek Belanda yang sangat kejam terhadap bangsnaya sendiri. Dia tega merampas harta rakyat, adu domba, menyiksa sampai memperkosa.
Pertempuran demi pertempuran di menangkan oleh Nyi Ageng Serang. Tetapi sekali lagi,yang membuat sangat sedih adalah membunuh bangsanya sendiri, sedangkan pasukan Belanda berada di belakang mereka.
Ki Simbar Jaya berhasil ditaklukkannya dengan senjata Cundrik dan Selendang yang selalu menyertai Nyi Ageng Serang. Karena kesaktiannya oleh masyarakat Serang, Nyi Ageng Serang dijuluki juga Djayeng Sekar. Antek-antek Belanda lain yang berhasil di bunuhnya adalah Kyai Aras Langu dan Kyai Penther.
Pada akhir tahun 1830, Nyi Ageng Serang sudah berusia lanjut. Atas permintaan kraton serta bujuk rayu abdi terdekatnya akhirnya Nyi Ageng Serang bersedia untuk kembali ke kota. Beliau lalu bertempat di Notoprajan. Tidak banyak kegiatan yang dilakukan Nyi Ageng Serang di sana, terlebih ketika mendengar bahwa Pangeran Diponegoro berhasil di tangkap oleh Belanda di Magelang dengan menggunakan tipu muslihat yang sangat licik.
Pada tahun 1932, di Notoprajan Nyi Ageng Serang bertemu dengan Pangeran Papak cucunya. Pangeran Papak bercerita dan meminta maaf karena dirinya sampai tertangkap oleh musuh. Pangeran Papak menceritakan semua pengalamannya ketika di tawan di Magelang, Salatiga, Ungaran dan Semarang.
Pada tahun 1833 di senja hari, Nyi Ageng Serang akhirnya wafat. Beliau dimakamkan di dusun Beku, Banjarharjo, Kecamatan Kalibawang, Kulon Progo (sekarang ).

Nyi Ageng Serang meninggalkan banyak contoh. Semangat pengabdian, meninggalkan kemewahan demi perjuangan untuk membebaskan bangsa dari penjajahan.
Semoga pemimpin saat ini bisa mencontoh semangatnya, walau dalam konteks yang berbeda.

Sumber :
Mutiara-Mutiara Perjuangan Bukit Menoreh : Sebuah Studi pendahuluan tentang Sejarah perjuangan Bnagsa Daerah Kulon Progo, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kulon Progo, 2008
Riclefs, M.C, Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004, PT Serambi Ilmu Semesta, 2005
www.tokohindonesia.com/biografi/article/295-pahlawan/679-ahli-strategi-diponegoro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar